BEKAL
Penyusun:
Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar
Tentu banyak
di antara kita yang telah mengetahui bahwa di hari raya ini, umat Islam
menyembelih hewan kurbannya dalam rangka ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla.
Akan tetapi, bagi para wanita muslimah, sesungguhnya hari raya ini tidak
sekedar pergi untuk shalat ‘ied, kemudian menunggu daging hasil sembelihan dan
meramunya menjadi makanan yang lezat. Ada hal-hal lain yang perlu dilakukan,
sehingga hari raya ini penuh makna dalam usaha kita meraih pahala-Nya. Semoga
hari raya tahun ini menjadi hari raya yang lebih baik dengan amalan-amalan yang
sesuai tuntunan nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aamiin ya
mujibassaailin… saailin…
Berpuasa di Sembilan Hari Pertama Bulan Dzulhijjah
Mulai dari
awal bulan Dzulhijjah, ternyata telah ada amalan yang disunnahkan untuk kita
kerjakan. Hal ini telah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam contohkan
sebagaimana terdapat dalam hadits,
أنَّ النّبيّ
صلى الله عليه و سلم كان يصُوم عاشُوراءَ و تسْعاً من ذيْ الحجَّةِ و ثلاثةٍ
أيّامٍ من شَهرٍ
“Bahwasannya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa ‘Asyuro’ dan (juga berpuasa)
sembilan hari di bulan Dzulhijjah serta tiga hari di setiap bulannya.” (HR. Abu Dawud: 2437, lihat Shahih
Sunan Abi Dawud 2/78)
Namun,
apabila amalan ini terasa berat, maka seseorang dapat mencukupkan diri dengan
puasa pada tanggal 9 Dzulhijjah. Puasa ini dikenal pula dengan nama puasa
Arafah karena pada tanggal tersebut, orang yang sedang menjalankan haji
berkumpul di Arafah untuk melakukan runtutan amalan yang wajib dikerjakan pada
saat berhaji yaitu ibadah wukuf.
Walau ibadah
puasa ini hukumnya sunnah (jika mengerjakan mendapat ganjaran dan jika
meninggalkan tidak mendapat hukuman), namun amat disayangkan jika kita sebagai
muslimah melewatkan kesempatan untuk menghapuskan dosa-dosa selama dua tahun,
yaitu setahun sebelumnya dan setahun sesudah puasa Arafah. Hal ini berdasarkan
sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يٌكَفِّرُ
السَّنة المَاضٍيَةَ و البَاقٍيَةَ
“(Puasa
Arafah akan) menghapus dosa-dosa kecil setahun yang lalu dan setahun yang akan
datang.” (HR.
Muslim: 1162)
Takbir,
Tahlil dan Tahmid
Amalan
lainnya yang dapat dikerjakan adalah membaca takbir, tahlil dan tahmid pada
sepuluh hari di awal bulan Dzulhijjah, baik di jalan-jalan, maupun di
pasar-pasar. Tentu saja, karena kita adalah seorang muslimah, maka takbir,
tahlil dan tahmid ini dilakukan dengan suara lirih. Dalil disyari’atkannya
takbir, tahlil dan tahmid ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
لِيَشْهَدُوا
مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا
رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ
الْفَقِيرَ
“…dan
hendaklah kalian berdzikir (menyebut) nama Allah pada hari-hari yang sudah
ditentukan…” (QS.
Al-Hajj [22]: 28)
Ibnu Abbas radhiallahu
‘anhu mengatakan bahwa yang dimaksud “..hari-hari yang sudah
ditentukan…” pada ayat di atas adalah sepuluh hari pertama di bulan
Dzulhijjah.
Dan pada
ayat yang lain, Allah berfirman,
وَاذْكُرُواْ
اللّهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ فَمَن تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلاَ إِثْمَ
عَلَيْهِ وَمَن تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُواْ اللّهَ
وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“… Dan
sebutlah nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan…” (QS. Al-Baqarah [2]: 203)
Yaitu pada
hari tasyrik, yaitu tanggal 11, 12 dan 13 bulan Dzulhijjah.
Adapun
takbir, tahlil dan tahmid, maka tidak ada lafal khusus yang shahih dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Namun, terdapat riwayat dari sebagian sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, seperti Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu pernah
mengucapkan:
الله أكبر
الله أكبر، لا إلَهَ إلاَّ اللهُ، و اللهُ أكبر، اللهُ أكبرُ و لِلّهِ الحَمدُ
“Allah
Mahabesar, Allah Mahabesar, tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali hanya
Allah semata. Dan Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, dan segala puji hanya bagi
Allah.” (HR. Ibnu
Abi Syaibah (II/168) dengan sanad shahih)
Ibnu ‘Abbas
juga pernah mengucapkan
الله أكبر
الله أكبر الله أكبر و لِلّهِ الحَمدُ الله أكبر وأجَلُّ الله أكبرُ عَلىَ ما
هَدَا نا
“Allah
Mahabesar, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, segala puji hanya bagi Allah.
Allah Mahabesar lagi Mahaagung. Dan Allah Mahabesar atas petunjuk yang telah
diberikan kepada kita.” (HR. Ibnu Abi Syaibah (II/168) dengan sanad shahih).
Yang perlu
diingat saudariku, dalam melakukan takbir, tahlil dan tahmid ini dikerjakan
secara sendirian. Artinya, takbir tersebut tidak dipimpin oleh seseorang dengan
maksud agar menyuarakan takbir secara serempak. Karena telah ada contoh dari
sifat takbir tersebut, yaitu dilakukan secara sendirian, maka kita tidak boleh
membuat sifat takbir yang baru dengan anggapan itu baik karena sebuah ibadah
tidak bisa diukur dengan akal semata.
Tidak
Memotong Rambut dan Kuku bagi yang Berkurban
Adapun bagi
seseorang yang hendak berkurban, maka sejak masuk bulan Dzulhijjah sampai hewan
kurbannya disembelih hendaknya tidak memotong rambut dan kukunya secara
sengaja. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan salah satu istri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Ummu Salamah radhiallahu
‘anhu bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
من كان له
ذبحٌ يذبحُهُ، فإذا أهَلّ هِلال ذِى الحجّةِ فلا يأخذنَّ من شعره و لا من أظفالره
شئا حتى يٌُضَحِّيَ
“Barangsiapa
mempunyai hewan sembelihan yang akan ia kurbankan, maka jika telah masuk bulan
dzulhijjah hendaklah tidak mencukur rambut, atau memotong kukunya sedikitpun
sampai ia menyembelih kurbannya.” (HR. Muslim)
Berkurban
Nah… tentu
saja untuk ibadah yang satu ini semua orang telah mengetahuinya. Namun,
bagaimana dengan hukum berkurban itu sendiri. Apakah wajib atau sunnah?
Ternyata ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Namun, pendapat yang lebih
kuat sebagaimana dikatakan oleh Syaikh ‘Ali Hasan hafidzahullah dalam
kitab Ahkamul ‘Aidain, bahwa hukum menyembelih binatang kurban bagi
seseorang adalah wajib bagi yang mampu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
memberi penjelasan yang lebih rinci setelah memberikan penjelasan tentang
lemahnya pendapat orang yang mengatakan bahwa hukumnya sunnah. Beliau rahimahullah
mengatakan, “Tidak setiap orang wajib menyembelih kurban, tetapi yang wajib
adalah bagi orang yang mampu saja dan dia itulah yang hendaknya menyembelih
kurban.” (Majmuu’ al Fataawaa (XXIII/162-164) dinukil oleh Syaikh
‘Ali Hasan). Salah satu dalil tentang wajibnya ibadah ini adalah sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من كان له
سعةُ و لم يُضَحِّ فلا يَقربنَّ مُصلا نا
“Barangsiapa
memiliki keleluasaan (rezeki) lalu dia tidak berkurban, maka janganlah dia
mendekati tempat sholat kita.” (HR. Ahmad (1/321), Ibnu Majah (3213), sanadnya
hasan)
Tidak Makan
Sebelum Shalat ‘ied
Jika sebelum
shalat ‘idul fithri kita disunnahkan makan kurma sebelum shalat, maka pada hari
raya ‘Idul Adh-ha, maka kita disunnahkan tidak makan hingga kembali dari tempat
shalat. Sebagaimana diriwayatkan dari Buraidah radhiallahu ‘anhu, dia
berkata,
كان النبي
صلى الله عليه و سلم لا يخرج يوم الفطر حتى يطعم و يوم النّحر لا يأكل حتى يرجع
فيأكُلُ من نَسِيكَتِهِ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat pada hari raya ‘Idul fithri
sampai beliau makan terlebih dahulu dan pada hari raya ‘Idul Adhha beliau tidak
makan sampai pulang, kemudian beliau makan dari daging hewan-hewan kurbannya.” (HR. Tirmidzi (542))
Mandi
Mandi
mungkin menjadi aktifitas biasa yang kita lakukan sehari-hari. Akan tetapi,
ketika hari raya, ternyata mandi bisa bernilai ibadah lho. Ibnu Qudamah
mengatakan, “Disunnahkan untuk membersihkan diri dengan mandi pada hari raya
‘ied. Ibnu ‘Umar biasa mandi pada hari raya ‘Iedul Fithri. Hal tersebut
diriwayatkan dari ‘Ali radhiallahu ‘anhu. Dan hal itu pula yang dikemukakan
oleh Alqamah, ‘Urwah, ‘Atha’, an Nakha’i, asy Sya’bi, Qatadah, Abu az Zinad,
Malik, asy Syafi’i dan Ibnul Mundzir.” (Al Mughni (II/370).
Pergi ke
Tanah Lapang untuk Shalat ‘Ied
Hal ini
dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana
diriwayatkan oleh Sa’id al Khudri radhiallahu ‘anhu, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat pada hari raya ‘iedul fithri dan
‘iedul adh-ha ke tanah lapang.” (HR. Bukhari dan Muslim). Padahal kita tahu
dari hadits lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صلاةٌ في
مَسجدِي هَذا أَفْضَلُ مِن أَلفِ صَلاةٍ فِيما سِوَاهُ إلاَّ المَسجِدَ الحَرَام
“Sholat di
masjidku ini (Masjid Nabawi) lebih baik dari seribu kali sholat di masjid
lainnya kecuali Masjidil Haram.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Walaupun
keutamaan Masjid Nabawi dan Masjidil Haram demikian besar, namun pada saat hari
raya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melaksanakan sholat
‘ied di tanah lapang. Tentu saja teladan yang paling baik adalah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Demikian
beberapa amalan berhari raya ‘iedul adh ha yang bisa penulis sampaikan. Semoga
di kesempatan lain, penulis dapat menjelaskan amalan-amalan yang dilakukan saat
berhari raya secara lebih rinci terutama berkaitan dengan sholat ‘ied itu
sendiri.
Maraji’:
- Meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Dalam Berhari Raya. Syaikh ‘Ali Hasan bin ‘Ali al-Halabi al-Atsary. Pustaka Imam Asy-Syafii. Cet I
- Majalah Al Furqon. Edisi 5 tahun V
- Majalah Al Furqon. Edisi 5 tahun VI
- Terjemah Riyadush Shalihin, takhrij Syaikh M. Nashiruddin Al Albani jilid 2. Imam Nawawi. Cetakan Duta Ilmu. 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar...asal tetap dalam koridor yang santun