Penulis:
Ummu Nabiilah
Muroja’ah: Ustadz Jamaluddin, Lc
Muroja’ah: Ustadz Jamaluddin, Lc
Beberapa
waktu yang lalu, Nusantara dikejutkan dengan kemunculan seorang ‘dukun cilik
Ponari’ dari Jombang, Jawa Timur. Bocah kelas tiga SD itu mengaku bahwa dirinya
mampu mengobati berbagai macam penyakit dengan batu ajaibnya. Konon, batu
tersebut ia peroleh seusai tersambar petir di halaman rumahnya. Sejak itulah,
masyarakat datang berbondong-bondong demi mendapatkan air yang telah dicelup
oleh batu si Dukun Cilik. Air celupan itu nantinya akan diminum atau diusapkan
pada tubuh orang yang sakit.
Semakin hari
bermacam penyakit bermunculan. Penyakit degeneratif yang dulunya jarang, bahkan
tidak pernah ditemui di masa lampau, kini semakin banyak diderita oleh
masyarakat. Berbagai macam cara ditempuh agar orang yang sakit dapat sembuh
kembali seperti sedia kala. Mulai dari terapi medis hingga pengobatan
alternatif yang tidak sesuai dengan syari’at dan tidak masuk akal seperti
terapi batu Ponari di atas.
Faktor
ekonomi, tingkat pendidikan yang rendah, dan ketidakpuasan masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan pemerintah dituding sebagai akar permasalahan mengapa
banyak orang datang ke praktek pengobatan alternatif. Nenek moyang bangsa
Indonesia dahulu mempercayai bahwa alam seperti batu, pohon, laut, dan
sebagainya memiliki ruh yang dapat mempengaruhi nasib manusia. Kepercayaan
tersebut tidak serta merta hilang dari hati masyarakat masa sekarang, meski
mereka tidak lagi menyatakan diri sebagai penyembah pohon atau batu. Sebagaimana
dalam kasus di atas, sebagian masyarakat masih mempercayai bahwa batu Ponari
memiliki kekuatan yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit meski mereka
menyatakan bahwa batu tersebut hanya digunakan sebagai perantara untuk mencapai
kesembuhan. Adapun kesembuhan yang mereka harapkan datangnya dari Allah semata.
Tinjauan
Syari’at
Seorang yang
sakit diperbolehkan untuk berobat agar sembuh dari penyakitnya. Setiap muslim
seharusnya meyakini bahwa Allah-lah yang menurunkan penyakit dan Dia pula yang
menurunkan obatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا اَنْزَلَ
اللهُ دَاءً إِلَّا اَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً
“Allah tidak
menurunkan penyakit melainkan pasti menurunkan obatnya.” (HR.t
Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Dalam hadits
yang lain beliau bersabda,
لِكُلِّ
دَاءٍ دَوَاء ٌ، فَإِذَا أُصِيْبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ
وَ جَلَّ
“Setiap
penyakit ada obatnya, jika suatu obat itu tepat (manjur) untuk suatu penyakit,
maka penyakit itu akan sembuh dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Muslim
dari Jabir radhiyallahu ‘anhu)
Dalam usaha
untuk mencari sarana kesembuhan, seorang muslim seharusnya memperhatikan
hal-hal berikut:
1. Bahwa
obat dan dokter hanya sebagai sarana penyembuhan, sedangkan yang benar-benar
menyembuhkan adalah Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, mengisahkan Nabi
Ibrahim ‘alaihissalam,
وَإِذَا
مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
“Dan apabila
aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku.” (Qs. Asy Syu’araa’: 80)
وَإِن
يَمْسَسْكَ اللّهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِن يُرِدْكَ
بِخَيْرٍ فَلاَ رَآدَّ لِفَضْلِهِ يُصِيبُ بِهِ مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ
الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Jika Allah
menimpakan suatu bencana kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya
kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagimu, maka tidak ada yang
dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang Dia
kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Qs. Yunus:
107)
وَإِن
يَمْسَسْكَ اللّهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِن يَمْسَسْكَ
بِخَيْرٍ فَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Dan jika
Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, maka tidak ada yang dapat
menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan
kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.” (Qs. Al An’aam: 17)
2. Ikhtiar
(usaha) dalam mencari obat tersebut tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang
haram dan syirik.
Yang haram
ini seperti berobat dengan menggunakan obat yang terlarang atau barang-barang
yang haram karena Allah tidak menjadikan penyembuhan dari barang yang haram.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ
خَلَقَ الدَّاءَ وَ الدَّوَاءَ، فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
“Sesungguhnya
Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan janganlah berobat
dengan (obat) yang haram.” (HR. Ad-Daulabi dalam Al Kuna, dihasankan oleh Syaikh
Al Albani dalam Silsilah Al Ahaadits Ash Shahiihah no. 1633)
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّ اللهَ
لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيْ حَرَامٍ
“Sesungguhnya
Allah tidak menjadikan kesembuhan (dari penyakit) kalian pada hal-hal yang
haram.” (hadits
riwayat Abu Ya’la VI/104 no..6930, Majma’uz Zawaa-id V/86 dan Ibnu Hibban (no.
1397-Mawaarid), lihat Shahiih Mawaaridizh Zham-aan no. 1172, dari Ummu Salamah radhiyallahu
‘anha, hasan lighairihi)
Dan tidak
boleh juga berobat dengan hal-hal yang syirik dan haram, seperti;
pengobatan alternatif dengan cara mendatangi dukun, tukang sihir, paranormal,
“orang pintar”, menggunakan jin, pengobatan dengan jarak jauh, atau sebagainya
yang tidak sesuai dengan syariat, sehingga dapat mengakibatkan jatuh dalam
syirik dan dosa besar yang paling besar. Orang yang mendatangi dukun atau orang
pintar tidak akan diterima shalatnya selama 40 hari.
Rasullulah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى
عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ، لمَ ْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِيْنَ
لَيْلَةً.
“Barangsiapa
yang datang kepada dukun/orang pintar/tukang ramal, lalu menanyakan kepadanya
tentang sesuatu, maka tidak akan diterima shalatnya selama 40 malam.” (HR. Muslim
no.2230 (125), Ahmad IV/68, V/380 dari seorang istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam)
أَوْكَاهِنًا
فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ. مَنْ
أَتَى عَرَّافًا
“Barangsiapa
yang mendatangi orang pintar/tukang ramal atau dukun lalu ia membenarkan apa
yang diucapkanny, maka sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Ahmad II/408, 429,476, al
Hakim I/8 Shahiih al-Jaami’ish SShaghiir no.5939 dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, shahih).
Apabila
seseorang terkena sihir, guna-guna, santet, kesurupan jin dan lainnya atau
penyakit menahun yang tak kunjung sembuh, maka tidak boleh sekali-kali bagi
seorang muslim atau muslimah mendatangi dukun, tukang sihir atau paranormal,
karena datang kepada mereka adalah dosa besar. Dan tidak boleh pula bertanya
kepada mereka tentang penyakit maupun hal-hal yang ghaib karena tidak ada yang
tahu perkara yang ghaib melainkan hanya Allah saja, bahkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pun tidak tahu perkara yang ghaib.
Allah Ta’ala berfirman,
Allah Ta’ala berfirman,
قُل لاَّ
أَقُولُ لَكُمْ عِندِي خَزَآئِنُ اللّهِ وَلاَ أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلاَ أَقُولُ
لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ
يَسْتَوِي الأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلاَ تَتَفَكَّرُونَ
“Katakanlah,
‘Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan
tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu
bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan
kepadaku.’ Katakanlah: ‘Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?’
Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” (Qs. Al An’aam: 50).
Allah Ta’ala
berfirman,
قُل لاَّ
أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً وَلاَ ضَرّاً إِلاَّ مَا شَاءَ اللّهُ وَلَوْ كُنتُ
أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ
أَنَاْ إِلاَّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah,
‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak
kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang
ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan
ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa
berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. (Qs.Al A’raaf: 188)
Dalam
pengambilan sebab atau cara untuk mendapatkan kesembuhan haruslah memenuhi tiga
syarat berikut agar tidak terjatuh dalam kesyirikan:
- Sebab
yang diambil harus terbukti secara syar’i maupun qodari.
Secara syar’i maksudnya terdapat dalil dalam Al Qur’an dan hadits yang menyebutkan bahwa sebab tersebut dapat digunakan sebagai sarana penyembuhan. Misalnya : membacakan ayat-ayat Al Qur’an sebagai terapi penyembuhan orang yang kerasukan jin, madu sebagai sarana pengobatan sakit demam, dan lain sebagainya.
Adapun secara qodari adalah sudah menjadi sunnatullah,
atau pengalaman, atau terbukti melalui penelitian ilmiah bahwa sebab tersebut
dapat digunakan sebagai terapi penyembuhan. Contohnya adalah penggunaan
obat-obatan kimiawi untuk mencegah atau mengobati penyakit tertentu.
Pengambilan sebab secara qodari ini dapat dibagi menjadi dua jenis hukum: halal
dan haram. Yang pertama adalah sebab yang halal misalnya parasetamol dan
kompres air hangat untuk meredakan demam. Adapun sebab yang haram misalnya
penggunaan enzim pankreas babi dan cangkok organ babi untuk pengobatan pada
manusia.
Seseorang yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, sementara
Allah Ta’ala tidak menetapkannya sebagai sebab, baik syar’i maupun qodari,
berarti dia telah menjadikan dirinya sekutu bagi Allah dalam hukum terhadap
sesuatu (Syaikh Muhamad bin Shalih Al Utsaimin, Syarah Kitab Tauhid Jilid I).
- Hati
tetap bersandar pada Allah Ta’ala, bukan pada sebab.
Maksudnya, ketika mengambil sebab, hatinya senantiasa bertawakkal dan memohon pertolongan pada Allah Ta’ala demi berpengaruhnya sebab tersebut. Hatinya tidak condong kepada sebab tersebut sampai-sampai merasa tenang kepada sebab, bukan kepada Allah. Apabila seseorang merasa pasti akan berhasil tatkala telah memperhitungkan segala sesuatunya, maka ada padanya indikasi bahwa hatinya telah bersandar kepada sebab, bukan kepada Allah Ta’ala. Hal tersebut juga dapat diindikasikan ada pada diri orang yang sangat kecewa berat atas sebuah kegagalan padahal orang itu merasa telah mengambil atau mengerjakan sebab dengan sebaik-baiknya. - Harus
tetap memiliki keyakinan bahwa berpengaruh atau tidaknya sebuah sebab
hanya Allah Ta’ala yang mentakdirkannya, betapapun keampuhan sebab
tersebut.
Artinya, jika Allah Ta’ala menghendaki untuk berpengaruh, maka akan dapat memberikan pengaruh sejalan dengan sunnatullah. Akan tetapi, jika Allah Ta’ala menghendakinya untuk tidak berpengaruh, maka tidak akan memberikan pengaruh apapun. Contohnya : api besar sunnatullahnya akan mampu membakar siapa saja. Namun tatkala Allah Ta’ala menghendaki lain, maka api tersebut menjadi dingin sebagaimana dalam kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Demikian
sedikit pembahasan mengenai hal-hal yang harus diperhatikan seorang muslim
ketika harus melakukan pengobatan. Akidah yang benar dan bersih dari kesyirikan
lebih utama daripada kesembuhan karena akidah yang lurus itulah sumber
kebahagiaan dunia dan akhirat. Seorang muslim hendaknya juga harus berhati-hati
terhadap praktek-praktek pengobatan alternatif di masyarakat karena beberapa
diantaranya mengandung unsur-unsur kesyirikan.
Wallahu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar...asal tetap dalam koridor yang santun