Disusun:
Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Banyak
perkataan terlontar, dari orang yang belum paham (atau mungkin salah paham)
tentang bid’ah. Inti perkataannya menunjukkan bahwa bid’ah itu sesuatu yang
boleh dikerjakan. Untuk itulah pada artikel ini penulis akan membahas berbagai
kerancuan yang sering terdengar di kalangan masyarakat. Dan untuk memperjelas
artikel sebelumnya, maka pada artikel ini insya Allah akan disertai beberapa
contoh. Semoga Allah memudahkan.
Untuk memudahkan
pemahaman, berikut ini beberapa poin penting yang ada pada artikel sebelumnya
dan masih akan dibahas kembali pada artikel ini.
- Makna bid’ah secara bahasa diartikan mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.
- Makna bid’ah secara istilah adalah suatu cara baru dalam beragama yang menyerupai syari’at dimana tujuan dibuatnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah.
- Tiga unsur yang selalu ada pada bid’ah adalah; (a) mengada-adakan, (b) perkara baru tersebut disandarkan pada agama, (c) perkara baru tersebut bukan bagian dari agama.
- Setiap bid’ah adalah sesat.
Kerancuan
Pertama: Antara Adat dan Ibadah
Dalam
pembahasan tentang bid’ah, terdapat kerancuan (syubhat) yang sering dilontarkan
oleh orang-orang yang kurang jeli semacam kata-kata, “Kalau begitu, Nabi
naik onta, kamu naik onta juga saja.” atau kata-kata “Ini bid’ah, itu
bid’ah, kalau begitu makan nasi juga bid’ah, soalnya gak ada perintahnya dari
nabi”, dan komentar-komentar senada lainnya.
Jawaban
Saudariku… perlulah engkau membedakan, antara sebuah ibadah dan sebuah adat. Sebuah amalan ibadah, hukum asalnya adalah haram, sampai ada dalil syar’i yang memerintahkan seseorang untuk mengerjakan. Sedangkan sebaliknya, hukum asal dalam perkara adat adalah boleh, sampai ada dalil yang menyatakan keharamannya.
Saudariku… perlulah engkau membedakan, antara sebuah ibadah dan sebuah adat. Sebuah amalan ibadah, hukum asalnya adalah haram, sampai ada dalil syar’i yang memerintahkan seseorang untuk mengerjakan. Sedangkan sebaliknya, hukum asal dalam perkara adat adalah boleh, sampai ada dalil yang menyatakan keharamannya.
Contoh dalam
masalah ibadah adalah
ibadah puasa. Hukum asalnya adalah haram. Namun, karena telah ada dalil yang
mewajibkan kita wajib puasa Ramadhan, atau dianjurkan puasa sunnah senin kamis
maka ibadah puasa ini menjadi disyari’atkan. Namun, coba lihat puasa mutih (puasa
hanya makan nasi tanpa lauk) yang sering dilakukan orang untuk tujuan tertentu.
Karena tidak ada dalil syar’i yang memerintahkannya, maka seseorang tidak boleh
untuk melakukan puasa ini. Jika ia tetap melaksanakan, berarti ia membuat
syari’at baru atau dengan kata lain membuat perkara baru dalam agama (bid’ah).
Contoh
masalah adat adalah
makan. Hukum asalnya makan adalah halal. Kita diperbolehkan (dihalalkan)
memakan berbagai jenis makanan, misalnya nasi, sayuran, hewan yang disembelih
dengan menyebut nama Allah. Di sisi lain, ternyata syari’at menjelaskan bahwa
kita diharamkan untuk memakan bangkai, darah atau binatang yang menggunakan
kukunya untuk memangsa. Jadi, meskipun misalnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam tidak makan nasi, bukan berarti orang yang makan nasi mengadakan
bid’ah. Karena hukum asal dari makan itu sendiri boleh.
Catatan
Penting!
Akan tetapi di sisi lain, ada orang yang mengkhususkan perkara adat ini menjadi ibadah tersendiri. Ini adalah terlarang. Maka, harus dilihat kembali penerapan dari kaedah bahwa hukum asal sebuah ibadah adalah haram sampai ada dalil yang mensyari’atkannya.
Akan tetapi di sisi lain, ada orang yang mengkhususkan perkara adat ini menjadi ibadah tersendiri. Ini adalah terlarang. Maka, harus dilihat kembali penerapan dari kaedah bahwa hukum asal sebuah ibadah adalah haram sampai ada dalil yang mensyari’atkannya.
Contoh dalam
masalah ini adalah masalah pakaian. Pakaian termasuk perkara adat, dimana orang
diberi kebebasan dalam berpakaian (tentu saja dengan batasan yang telah
dijelaskan dalam Islam). Namun, ada orang-orang yang mengkhususkan cara
berpakaian dengan alasan bahwa cara berpakaian tersebut diatur dalam Islam,
sehingga meyakininya sebagai ibadah. Contohnya adalah harus menggunakan pakaian
terusan bagi wanita atau harus menggunakan pakaian wol (biasa dilakukan
orang-orang sufi). Karena perkara adat ini dijadikan perkara ibadah tanpa
didukung oleh dalil-dalil syar’i, maka cara berpakaian dengan keyakinan semacam
ini menjadi terlarang.
Berbeda
dengan orang yang menjadikan perkara adat atau perkara mubah lainnya menjadi
bernilai ibadah dan menjadikannya sebagai perantara bagi sebuah ibadah yang
disyari’atkan atau melakukan perkara adat tersebut sesuai dengan tuntunan dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ini diperbolehkan. Contoh
dalam masalah ini adalah makan. Makan adalah perkara adat. Hukum asalnya adalah
diperbolehkan. Namun perkara adat ini dapat menjadi ibadah ketika seseorang
makan dengan cara-cara yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaih wa
sallam (baca artikel Adab Makan di muslimah.or.id) atau makan ini dapat
menjadi ibadah ketika seseorang niatkan untuk melakukan ibadah lain yang memang
telah disyari’atkan. Misalnya, seseorang makan agar kuat melakukan sholat
dzuhur, atau seorang bapak sarapan pagi dengan niat kuat bekerja dalam rangka
memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga. Contoh lainnya adalah
tidur. Tidur memang dapat menjadi ibadah ketika seseorang tidur sesuai tuntunan
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat artikel Adab Tidur
di muslimah.or.id) atau ketika diniatkan tidur itu untuk melakukan ibadah lain
yang memang telah ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Misalnya tidur di awal malam agar kuat sholat tahajjud di sepertiga
malam yang terakhir.
Semoga Allah
mempermudah kita untuk memahami dua hal yang berbeda ini! Sungguh indah
perkataan Abul Ahwash ketika ia berkata kepada dirinya sendiri,
“Wahai
Sallam, tidurlah kamu menurut sunnah. Itu lebih baik
daripada kamu bangun malam untuk melakukan bid’ah.”
(Al Ibanah no. 251, Lihat Membedah Akar Bid’ah).
daripada kamu bangun malam untuk melakukan bid’ah.”
(Al Ibanah no. 251, Lihat Membedah Akar Bid’ah).
Kerancuan
Kedua: Antara Bid’ah dan Mashalih Mursalah
Kerancuan
lain yang sering muncul adalah berkaitan dengan hal-hal yang biasa dipergunakan
dalam agama, semacam mikrofon, mushaf al-Qur’an, sekolah Islam dan lain
sebagainya. Seakan-akan perkara-perkara tersebut sesuai dengan ciri-ciri
bid’ah, terutama karena perkara tersebut disandarkan pada agama. Sehingga ada
orang yang berkata, “Berarti pake mik sewaktu adzan ga boleh dong. Kan zaman
nabi ga pake mik..”
Jawaban
Pada poin ini, perlu bahasan yang lebih rinci lagi berkaitan dengan mashalih mursalah. Syathibi dalam kitabnya al I’tishom telah menjelaskan perbedaan antara mashalih mursalah dengan bid’ah yang akan dapat dimengerti oleh orang yang mau memahami. Berikut ini perbedaan tersebut dengan penyesuaian dari penulis.
Pada poin ini, perlu bahasan yang lebih rinci lagi berkaitan dengan mashalih mursalah. Syathibi dalam kitabnya al I’tishom telah menjelaskan perbedaan antara mashalih mursalah dengan bid’ah yang akan dapat dimengerti oleh orang yang mau memahami. Berikut ini perbedaan tersebut dengan penyesuaian dari penulis.
Pertama,
Ketentuan mashalih mursalah sesuai dengan maksud-maksud syari’at, sehingga dalam penetapannya tetap memperhatikan dalil-dalil syari’at.
Ketentuan mashalih mursalah sesuai dengan maksud-maksud syari’at, sehingga dalam penetapannya tetap memperhatikan dalil-dalil syari’at.
Misalnya:
pengumpulan mushaf Al Qur’an. Karena pengumpulan ini sifatnaya sesuai dengan
maksud syari’at dan sesuai dengan dalil-dalil syari’at maka pengumpulan
mushaf Al-Qur’an bukanlah bid’ah walaupun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak memerintahkan untuk mengumpulkannya. Karena pengumpulan mushaf
Al-Qur’an bertujuan untuk menjaga sumber syari’at. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّا
نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.” (Al Hijr
[15]: 9)
Namun coba
perhatikan, terdapat perkara yang dibuat-buat, dimana seseorang mulai
menyebutkan ‘khasiat-khasiat’ baru dari baris-baris yang ada dalam lembaran Al
Qur’an. Sehingga orang mencetak dalam satu lembar harus ada 18 baris atau 16
baris dengan keyakinan-keyakinan yang tidak ada dalilnya dalam syari’at. Maka
yang seperti ini tidak termasuk dalam mashalih mursalah.
Kedua,
Mashalih mursalah lingkupnya adalah pada perkara-perkara yang dapat dipahami oleh akal.
Mashalih mursalah lingkupnya adalah pada perkara-perkara yang dapat dipahami oleh akal.
Contohnya
adalah penggunaan mikrofon di masjid-masjid. Kita ketahui mikrofon berguna
untuk memperjelas suara sehingga dapat didengar sampai jarak yang jauh. Hal ini
termasuk perkara adat dimana kita boleh mempergunakannya. Hal ini semisal
kacamata yang dapat memperjelas huruf-huruf yang kurang jelas bagi orang-orang
tertentu. Sebagaimana perkataan Syaikh As Sa’di rahimahullah kepada
orang berkacamata yang mengatakan bahwa pengeras suara adalah bid’ah, beliau
berkata, “Wahai saudaraku, bukankah kamu tahu bahwa kaca mata dapat membuat
sesuatu yang jauh menjadi dekat dan memperjelas pandangan. Demikian juga halnya
pengeras suara, dia memperjelas suara, sehingga seorang yang jauh dapat
mendengar, para wanita di rumah juga bisa mendengar dzikrullah dan majlis-majlis
ilmu. Jadi mikrofon merupakan keikmatan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita,
maka hendaknya kita menggunakannya untuk menyebarkan kebenaran.” (Mawaqif
Ijtima’iyyah min Hayatis Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, Muhammad As Sa’di dan
Musa’id As Sa’di. Lihat Majalah Al Furqon edisi 5 tahun 7)
Berbeda
halnya dengan bid’ah. Amalan-amalan bid’ah tidak dapat dipahami oleh akal. Hal
ini dikarenakan bid’ah merupakan amalan ibadah yang berdiri sendiri. Padahal
tidaklah amalan ibadah dapat dipahami oleh akal. Semisal, mengapa sholat fardhu
ada lima, dan mengapa jumlah raka’aatnya berbeda-beda. Atau mengapa ada dzikir
yang berjumlah 33. Maka semua ibadah ini tidak dapat dipahami maksudnya oleh
akal.
Ketiga,
Mashalih mursalah diadakan untuk menjaga perkara yang sifatnya vital (dharuri), serta menghilangkan permasalahan berat yang biasanya muncul dalam perkara agama.
Mashalih mursalah diadakan untuk menjaga perkara yang sifatnya vital (dharuri), serta menghilangkan permasalahan berat yang biasanya muncul dalam perkara agama.
Perkara dharuri
yang dimaksud misalnya adalah agama. Sebagaimana contoh pertama, maka
penyusunan mushaf Al Qur’an kita dapat pahami berkaitan untuk menjaga agama
agar kemurnian Al Qur’an tetap terjaga.
Coba bedakan
dengan bid’ah. Sebagaimana penulis sebutkan pada artikel sebelumnya, bahwa
bid’ah dibuat untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah sehingga
bid’ah justru menambah beban bagi seorang muslim. Contohnya adalah mengadakan
peringatan isra mi’raj, maulid atau yang semacamnya sehingga menambah beban
seseorang untuk mengeluarkan dana dan tenaga untuk mengadakan acara tersebut.
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan
untuk merayakan hal-hal tersebut.
-bersambung
insya Allah-
***
Artikel
www.muslimah.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar...asal tetap dalam koridor yang santun