Kerancuan
Ketiga: Antara Bid’ah dan Niat Baik
Setelah
melihat contoh-contoh mashalih mursalah di atas, mungkin saja terbersit kembali
di benak seseorang: “Tapi kan aku niatnya baik…”
Jawaban:
Saudariku…perlulah kita ketahui berbagai macam dalih dan kedurhakaan Yahudi dikarenakan dalih niat baik, namun mereka menghalalkan segala cara untuk niat baiknya itu. Sungguh banyak hadits yang menjelaskan bahwa sekedar niat baik itu tidaklah cukup. Niat baik (ikhlas) itu harus dibarengi dengan cara-cara yang sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satu contohnya adalah dalam hadits berikut.
Saudariku…perlulah kita ketahui berbagai macam dalih dan kedurhakaan Yahudi dikarenakan dalih niat baik, namun mereka menghalalkan segala cara untuk niat baiknya itu. Sungguh banyak hadits yang menjelaskan bahwa sekedar niat baik itu tidaklah cukup. Niat baik (ikhlas) itu harus dibarengi dengan cara-cara yang sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satu contohnya adalah dalam hadits berikut.
Dari Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Datang tiga orang ke rumah
istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka bertanya tentang ibadah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala mereka diberitahu tentang ibadah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seakan-akan mereka merasa bahwa ibadah
tersebut sedikit, maka mereka berkata, “Dimana kita jika dibanding dengan Nabi
shalalllahu ‘alahi wa sallam? Ia telah dimaafkan dosa-dosanya oleh Allah baik
yang telah lalu maupun yang akan datang.”
Seorang di
antara mereka berkata, “Adapun aku, maka aku akan sholat malam selama-lamanya.”
Yang lainnya
berkata, “Saya akan puasa dahr(setiap hari) dan aku tidak akan pernah buka.”
Dan berkata
yang lainnya, “Aku akan menjauhi para wanita, dan aku tidak akan menikah
selama-lamanya.”
Lalu
datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Apakah kalian
yang telah berkata demikian dan demikian? Ketahuilah demi Allah sesungguhnya
aku adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah daripada
kalian, namun aku berpuasa dan berbuka, aku sholat dan tidur, dan aku menikahi
para wanita. Barangsiapa yang benci terhadap sunnahku, maka dia bukan dari
golonganku.” (HR. Bukhari
no 5063 & Muslim 1401)
Lihatlah
kesungguhan dan niat baik ketiga orang tersebut dalam beribadah. Namun, niat
mereka langsung dibantah oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan
jika mereka tetap melakukan niatan tersebut, maka sama saja mereka membenci
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena niat baik mereka
tidak diikuti dengan cara yang benar yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Maka yang
benar dalam sebuah ibadah adalah tidak sekedar memperhatikan niat semata, namun
juga cara melakukannya. Sebagaimana dikatakan oleh Fudhail bin ‘Iyad ketika
menafsirkan firman Allah,
“Supaya
Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Al Mulk.
2)
Beliau rahimahullah
berkata, “Maksudnya, ikhlas dan benar dalam melakukannya. Sebab amal yang
dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar maka tidak akan diterima. Dan jika
benar, tetapi tidak ikhlas maka amalnya juga tidak diterima. Adapun amal yang
ikhlas adalah amal yang dilakukan karena Allah, sedang amal yang benar adalah
bila dia sesuai dengan sunnah Rasulullah.” (Hilyatul Auliya’ : VIII/95.
Lihat Membedah Akar Bid’ah)
Kerancuan
Keempat: Antara Bid’ah dan Maksiat
Banyak orang
menganggap seseorang melakukan bid’ah lebih baik daripada seseorang melakukan
maksiat. Mereka menganggap bahwa orang yang melakukan bid’ah itu sudah dekat
dengan agama, jadi tidak perlu dipermasalahkan dengan amalan-amalannya.
“Daripada mencuri atau minum minuman keras”, kata mereka.
Jawaban:
Sungguh pemikiran seperti ini harus dikoreksi dengan beberapa alasan:
Sungguh pemikiran seperti ini harus dikoreksi dengan beberapa alasan:
Pertama, karena telah banyak hadits yang
menjelaskan bahayan bid’ah, padahal orang yang melakukan bid’ah tersebut
menanggap mereka melakukan ibadah dengan penuh kesungguhan yang sangat. Akan
tetapi amat disayangkan, amalan mereka tidak diterima bahkan mendapat adzab
dari Allah Subhanhu wa Ta’ala. Sebagaimana Rasulullah shalallahu’alaihi wa
sallam jelaskan tentang kelompok khawarij yang salah satu ciri
mereka adalah sangat banyak beribadah,
“Salah
seorang dari kalian merasa shalatnya lebih rendah nilainya daripada shalat
mereka (kelompok khawarij), puasanya lebih rendah nilainya daripada puasa
mereka, tilawahnya lebih rendah nilainya daripada tilawah mereka. Mereka
membaca Al Qur’an tetapi tidak melewati kerongkongan mereka (tidak
memahaminya). Mereka telah melesat keluar dari Islam sebagaimana anak panah
melesat dari busurnya…” (HR. Bukhari)
Kedua, kita ketahui orang yang melakukan
maksiat menyadari bahwa kegiatan yang dilakukannya terlarang dalam agama dan
berdosa, sehingga ketika diingatkan mereka mengakui kesalahannya tersebut walau
belum mampu meninggalkan maksiat yang dilakukannya. Berbeda dengan pelaku
bid’ah, mereka menganggap bahwa amalan yang mereka lakukan adalah ibadah,
apalagi mereka menjalankannya dengan penuh kesungguhan. Sehingga jika
diperingatkan, mereka akan sulit meninggalkannya karena menganggap itu adalah
sebuah kebenaran. Atau ketika menyadari bahwa itu adalah perkara yang baru
dalam agama maka mereka mengatakan bahwa amalan (bid’ah) yang mereka lakukan
adalah bid’ah hasanah, padahal tidaklah maksud dari kata-kata tersebut
melainkan mengatakan semua bid’ah adalah hasanah.
Contoh dalam
masalah ini adalah ketika orang melakukan kemaksiatan mencuri, ia menyadari ada
larangannya dalam Islam. Maka, ia menyadari sedang melakukan dosa. Namun, jika
seseorang diperingatkan untuk tidak melakukan yasinan, maka serta merta
kerenyit muka tak senang muncul dan mengatakan, “Masa baca Qur’an
dilarang.”Padahal maksud dari orang yang memberikan nasihat, bukan melarang
seseorang membaca Al-Qur’an. Namun yang terlarang adalah mengkhususkan
membaca surat Yasin pada hari-hari tertentu dengan keyakinan itu adalah ibadah.
Benarlah ucapan Imam Sufyan Ats Tsauri,
“Bid’ah
lebih disukai iblis daripada maksiat.
Sebab maksiat orang mudah untuk meninggakannya, sedang bid’ah orang sulit untuk meninggalkannya.” (dinukil dari Musnad Ibnul Ja’d oleh syaikh Ali Hasan)
Sebab maksiat orang mudah untuk meninggakannya, sedang bid’ah orang sulit untuk meninggalkannya.” (dinukil dari Musnad Ibnul Ja’d oleh syaikh Ali Hasan)
Kerancuan
Kelima: Bid’ah Tarawih?
Satu lagi
kerancuan yang sering kali muncul ketika membahas tentang bid’ah adalah ibadah
sholat tarawih. Banyak orang mengira, tarawih tidak pernah dilakukan di masa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkeyakinan demikian,
apalagi dengan adanya perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu ketika melihat
orang-orang beribadah sholat tarawih berjama’ah, ia berkata, “Sebaik-baik
bid’ah adalah ini.”
Jawaban:
Sesungguhnya wahai saudariku… Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan ibadah sholat malam di bulan Ramadhan, baik sendirian maupun berjama’ah. Sebagaimana dalam hadits berikut,
Sesungguhnya wahai saudariku… Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan ibadah sholat malam di bulan Ramadhan, baik sendirian maupun berjama’ah. Sebagaimana dalam hadits berikut,
عن عائشة رضي
الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه و سلم صلى في المسجد ذات ليلة، فصلى بصلاته
ناس، ثم صلى من القابلة فكثر الناس، ثم اجتمعوا من الليلة الثالثة أو الرابعة فلم
يخرج إليهم رسول الله الله صلى الله عليه و سلم ، فلما أصبح قال: (قد رأيت الذي
صنعتم، فلم يمنعني من الخروج إليكم إلا أني خشيت أن تفرض عليكم) قال وذلك في
رمضان.
“Dari sahabat
‘Aisyah -radhiallahu ‘anha- bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pada suatu malam menjalankan sholat di m asjid, maka ada beberapa orang
yang mengikuti shalat beliau, kemudian pada malam selanjutnya beliau shalat
lagi, dan orang-orang yang mengikuti shalat beliau-pun bertambah banyak.
Kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, dan beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar menemui mereka, pada pagi harinya
beliau bersabda: “Sungguh aku telah mengetahui apa yang kalian lakukan (yaitu
berkumpul menanti shalat berjamaah ) dan tidaklah ada yang menghalangiku untuk
keluar menemui kalian, melainkan karena aku khawatir bila (shalat tarawih)
diwajibkan atas kalian.” Dan itu terjadi pada bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sebenarnya
dalil ini sudah cukup untuk menunjukkan bahwa tarawih bukanlah bid’ah. Namun,
untuk menjawab kerancuan yang timbul dari perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu,
maka jawabannya bisa dari dua sisi:
- Maksud Umar adalah bid’ah dengan makna secara bahasa, yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Hal ini disebabkan sejak wafatnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, sholat tarawih berjama’ah tersebut belum pernah dilakukan kembali ketika masa kekhalifahan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu.
- Jika pun maksud perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu tersebut bid’ah secara istilah, maka perkataan tersebut tidaklah dapat diterima karena bertentangan dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كل بدعة
ضلالة
“Seluruh
bid’ah sesat…” (HR. Muslim
2/592)
Sungguh
tidak akan habis kerancuan yang dilontarkan ketika seseorang lebih mengikuti
hawa nafsunya daripada kebenaran yang telah dijelaskan oleh Nabi kita shallallahu
‘alaihi wa sallam. Semoga dengan kaedah-kaedah yang disebutkan pada artikel
ini dapat membentengi kita dari kerancuan lain yang menyambar-nyambar hati.
Allah Ta’ala berfirman,
“Pada hari
ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al Maidah: 3).
Ingatlah
pula, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda
bersabda,
“Tidak
tersisa sesuatu pun yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka
melainkan telah dijelaskan kepadamu.” (HR. Thabrani, sanadnya shahih).
Maka
cukupkanlah dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, karena yang demikian juga sudah sangat menyibukkan jika kita telah
mengetahui dan mengamalkannya. Ataupun jika baru sedikit sunnah Nabi yang kita
ketahui, maka istiqomahlah menjalankannya, karena yang demikian adalah amal
yang paling dicintai Allah (HR. Bukhari dan Muslim). Ya Allah, berikanlah
ketakwaan pada diri kami, bersihkanlah jiwa kami dari hawa nafsu karena
Engkau-lah sebaik-baik pembersih jiwa.
Maraji’:
- Kajian kitab Ushulus Sunnah karya Imam Ahmad oleh Al Ustadz Aris Munandar
- Membedah Akar Bid’ah. Syaikh Ali Hasan Al Halabi Al Atsari. Pustaka Al Kautsar cet ke-4 2005
- Ringkasan Al I’tisham Imam Asy Syathibi, Syaikh Abdul Qadir As Saqqaf. Media Hidayah cet ke-1 2003
***
Artikel
www.muslimah.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar...asal tetap dalam koridor yang santun