Pengikut

Tampilkan postingan dengan label BID'AH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BID'AH. Tampilkan semua postingan

Minggu, 23 Januari 2022

Jumat, 23 November 2012

Menyembelih Hewan Dengan Niat Menangkal Bala


أنا متزوج منذ أربع سنوات ولم أرزق بأطفال, والحمد لله تلقيت مؤخرا خبرا أن زوجتي حامل, فقمت وبناءا على نصيحة والدي بذبح ذبيحتين (فدو) وتوزيعهم على المحتاجين من المسلمين خالصا لوجه الله تعالى عني وعن زوجتي, فما حكمه في الشرع?.
Pertanyaan: "Saya telah menikah selama empat tahun dan belum dikaruniai anak satupun. Alhamdulillah, saya baru mendengar berita bahwa istri saya hamil, dan pada saran ayahku, aku menyembelih dua hewan (sebagai korban) dan dagingnya dibagi-bagi di kalangan miskin dari kaum muslimiin, murni demi Allah atas nama diri sendiri dan istri saya. Apa hukum Islam tentang itu? "
الحمد لله 
إذا كان ذبحك هذا وإطعامك المحتاجين شكرا لله تبارك وتعالى: فإنه يجوز, فإن إطعام الطعام من الإحسان إلى الناس, والله تعالى يحب المحسنين.
Jawaban: Alhamdulillah
Jika pengorbanan dan memberi makan orang miskin ini dilakukan sebagai tindakan syukur kepada Allah, maka itu diperbolehkan. Karena memberi makan orang lain adalah termasuk perbuatan baik kepada manusia, dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
وإذا كان ذبحك هذا دفعا للسوء وجلبا للخير: فإنه لا يجوز, وهذا هو المشهور عند عامة الناس من كلمة (الفدو) فهم يظنون أن في فعلهم هذا دفعا للسوء, وهم يفعلونه في حال حدوث الحوادث أو الأمراض التي تصيبهم أو تصيب بعض أفرادهم.
Tetapi jika pengorbanan Anda bertujuan untuk menangkal keburukan dan mewujudkan kebaikan, maka tidak diperbolehkan. Inilah yang dikenal di kalangan orang-orang ketika kata "pengorbanan" (fadw) digunakan, karena mereka berpikir bahwa dengan melakukan hal ini mereka akan mengusir kejahatan dan membawa kebaikan, sehingga mereka melakukan hal ini ketika kecelakaan atau penyakit terjadi pada mereka atau mereka orang- orang terkasih.
وليس الذبح في الشرع مانعا من وقوع المقدور خيرا كان أو شرا.
Dalam Islam, pengorbanan bukanlah sebagai cara menangkal apa yang telah ditetapkan oleh Allah, apakah baik atau buruk.
وقد سئل الشيخ عبد العزيز بن باز - رحمه الله - عن الذبح عند اكتمال البناء أو انتصافه فقال:
هذا التصرف فيه تفصيل, فإن كان المقصود من الذبيحة اتقاء الجن أو مقصدا آخر يقصد به صاحب البيت أن هذا الذبح يحصل به كذا وكذا كسلامته وسلامة ساكنيه فهذا لا يجوز, فهو من البدع, وإن كان للجن فهو شرك أكبر; لأنها عبادة لغير الله.
Shaykh Abdul Aziiz bin Baaz-rahimahullah-ditanya tentang menyembelih binatang ketika bangunan telah selesai dibangun atau setengah pembangunan. Dia berkata: "Tindakan ini membutuhkan pemeriksaan dan rincian lebih lanjut. Jika maksud di balik pengorbanan adalah untuk melindungi diri sendiri melawan jin atau niat lain di mana pemilik rumah bermaksud untuk mencapai sesuatu, seperti menjaga atau penghuninya aman, hal ini tidak diperbolehkan, dan itu adalah semacam bid'ah (inovasi). Jika hal itu dilakukan untuk jin maka itu adalah syirik besar, karena merupakan tindakan ibadah dilakukan untuk orang lain selain Allah.
أما إن كان من باب الشكر على ما أنعم الله به عليه من الوصول إلى السقف أو عند اكتمال البيت فيجمع أقاربه وجيرانه ويدعوهم لهذه الوليمة: فهذه لا بأس بها, وهذا يفعله كثير من الناس من باب الشكر لنعم الله حيث من عليهم بتعمير البيت والسكن فيه بدلا من الاستئجار, ومثل ذلك ما يفعله بعض الناس عند القدوم من السفر يدعو أقاربه وجيرانه شكرا لله على السلامة, فإن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا قدم من سفر نحر جزورا ودعا الناس لذلك عليه الصلاة والسلام. رواه البخاري (3089)
"مجموع فتاوى الشيخ ابن باز" (5/388).
Tetapi jika hal itu dilakukan sebagai tindakan syukur untuk berkat yang Allah telah berikan, seperti mencapai atap atau menyelesaikan rumah, jadi orang tersebut mengumpulkan sanak saudara dan tetangga dan mengajak mereka ke pesta ini, tidak ada yang salah dengan ini. Inilah yang dilakukan banyak orang sebagai tindakan syukur untuk berkat dari Allah, sebagaimana Dia telah memungkinkan mereka untuk membangun rumah dan hidup tinggal di dalamnya tanpa harus menyewa. Mirip dengan ini adalah apa yang beberapa orang lakukan ketika mereka kembali dari sebuah perjalanan, dan mereka mengundang kerabat dan tetangga mereka sebagai tindakan syukur kepada Allah untuk kedatangan mereka dalam kondisi aman. Sesungguhnya ketika Nabi-shallallahu alaihi wa sallam-kembali dari perjalanan dia akan mengorbankan unta dan mengundang orang untuk makan. (HR. Al-Bukhari, 3089).
وقال الشيخ محمد الصالح بن عثيمين - رحمه الله -:
ما يفعله بعض الناس إذا نزل منزلا جديدا ذبح ودعا الجيران والأقارب: هذا لا بأس به ما لم يكن مصحوبا بعقيدة فاسدة, كما يفعل في بعض الأماكن إذا نزل منزلا فإن أول ما يفعل أن يأتي بشاة ويذبحها على عتبة الباب حتى يسيل الدم عليها, ويقول: إن هذا يمنع الجن من دخول البيت, فهذه عقيدة فاسدة ليس لها أصل, لكن من ذبح من أجل الفرح والسرور: فهذا لا بأس به.
"الشرح الممتع" (7/550, 551).
والله أعلم.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimiin-rahimahullah-berkata:
"Apa yang beberapa orang lakukan ketika mereka pindah ke rumah baru dengan menyembelih binatang dan mengundang tetangga dan kerabat, itu baik-baik saja asalkan tidak disertai oleh keyakinan yang rusak, seperti yang dilakukan di beberapa tempat di mana hal pertama yang dilakukannya adalah membawa domba dan menyembelihnya di depan pintu sehingga darah akan jatuh ke atasnya, dan mereka mengatakan bahwa ini akan mencegah jin dari memasuki rumah. Ini adalah keyakinan rusak yang tidak memiliki dasar dalam Islam. Tetapi jika seseorang menyembelih itu sebagai ungkapan sukacita dan kebahagiaan, tidak ada yang salah dengan itu. " [Asy-Syarh Al-Mumti '7/550-551]
Wallahu a'lam
http://islam-qa.com/ar/ref/26952

Rabu, 19 September 2012

Yang Bukan Bid’ah (1)



Disusun: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Banyak perkataan terlontar, dari orang yang belum paham (atau mungkin salah paham) tentang bid’ah. Inti perkataannya menunjukkan bahwa bid’ah itu sesuatu yang boleh dikerjakan. Untuk itulah pada artikel ini penulis akan membahas berbagai kerancuan yang sering terdengar di kalangan masyarakat. Dan untuk memperjelas artikel sebelumnya, maka pada artikel ini insya Allah akan disertai beberapa contoh. Semoga Allah memudahkan.
Untuk memudahkan pemahaman, berikut ini beberapa poin penting yang ada pada artikel sebelumnya dan masih akan dibahas kembali pada artikel ini.
  1. Makna bid’ah secara bahasa diartikan mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.
  2. Makna bid’ah secara istilah adalah suatu cara baru dalam beragama yang menyerupai syari’at dimana tujuan dibuatnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah.
  3. Tiga unsur yang selalu ada pada bid’ah adalah; (a) mengada-adakan, (b) perkara baru tersebut disandarkan pada agama, (c) perkara baru tersebut bukan bagian dari agama.
  4. Setiap bid’ah adalah sesat.
Kerancuan Pertama: Antara Adat dan Ibadah
Dalam pembahasan tentang bid’ah, terdapat kerancuan (syubhat) yang sering dilontarkan oleh orang-orang yang kurang jeli semacam kata-kata, “Kalau begitu, Nabi naik onta, kamu naik onta juga saja.” atau kata-kata “Ini bid’ah, itu bid’ah, kalau begitu makan nasi juga bid’ah, soalnya gak ada perintahnya dari nabi”, dan komentar-komentar senada lainnya.
Jawaban
Saudariku… perlulah engkau membedakan, antara sebuah ibadah dan sebuah adat. Sebuah amalan ibadah, hukum asalnya adalah haram, sampai ada dalil syar’i yang memerintahkan seseorang untuk mengerjakan. Sedangkan sebaliknya, hukum asal dalam perkara adat adalah boleh, sampai ada dalil yang menyatakan keharamannya.
Contoh dalam masalah ibadah adalah ibadah puasa. Hukum asalnya adalah haram. Namun, karena telah ada dalil yang mewajibkan kita wajib puasa Ramadhan, atau dianjurkan puasa sunnah senin kamis maka ibadah puasa ini menjadi disyari’atkan. Namun, coba lihat puasa mutih (puasa hanya makan nasi tanpa lauk) yang sering dilakukan orang untuk tujuan tertentu. Karena tidak ada dalil syar’i yang memerintahkannya, maka seseorang tidak boleh untuk melakukan puasa ini. Jika ia tetap melaksanakan, berarti ia membuat syari’at baru atau dengan kata lain membuat perkara baru dalam agama (bid’ah).
Contoh masalah adat adalah makan. Hukum asalnya makan adalah halal. Kita diperbolehkan (dihalalkan) memakan berbagai jenis makanan, misalnya nasi, sayuran, hewan yang disembelih dengan menyebut nama Allah. Di sisi lain, ternyata syari’at menjelaskan bahwa kita diharamkan untuk memakan bangkai, darah atau binatang yang menggunakan kukunya untuk memangsa. Jadi, meskipun misalnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak makan nasi, bukan berarti orang yang makan nasi mengadakan bid’ah. Karena hukum asal dari makan itu sendiri boleh.
Catatan Penting!
Akan tetapi di sisi lain, ada orang yang mengkhususkan perkara adat ini menjadi ibadah tersendiri. Ini adalah terlarang. Maka, harus dilihat kembali penerapan dari kaedah bahwa hukum asal sebuah ibadah adalah haram sampai ada dalil yang mensyari’atkannya.
Contoh dalam masalah ini adalah masalah pakaian. Pakaian termasuk perkara adat, dimana orang diberi kebebasan dalam berpakaian (tentu saja dengan batasan yang telah dijelaskan dalam Islam). Namun, ada orang-orang yang mengkhususkan cara berpakaian dengan alasan bahwa cara berpakaian tersebut diatur dalam Islam, sehingga meyakininya sebagai ibadah. Contohnya adalah harus menggunakan pakaian terusan bagi wanita atau harus menggunakan pakaian wol (biasa dilakukan orang-orang sufi). Karena perkara adat ini dijadikan perkara ibadah tanpa didukung oleh dalil-dalil syar’i, maka cara berpakaian dengan keyakinan semacam ini menjadi terlarang.
Berbeda dengan orang yang menjadikan perkara adat atau perkara mubah lainnya menjadi bernilai ibadah dan menjadikannya sebagai perantara bagi sebuah ibadah yang disyari’atkan atau melakukan perkara adat tersebut sesuai dengan tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ini diperbolehkan. Contoh dalam masalah ini adalah makan. Makan adalah perkara adat. Hukum asalnya adalah diperbolehkan. Namun perkara adat ini dapat menjadi ibadah ketika seseorang makan dengan cara-cara yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam (baca artikel Adab Makan di muslimah.or.id) atau makan ini dapat menjadi ibadah ketika seseorang niatkan untuk melakukan ibadah lain yang memang telah disyari’atkan. Misalnya, seseorang makan agar kuat melakukan sholat dzuhur, atau seorang bapak sarapan pagi dengan niat kuat bekerja dalam rangka memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga. Contoh lainnya adalah tidur. Tidur memang dapat menjadi ibadah ketika seseorang tidur sesuai tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat artikel Adab Tidur di muslimah.or.id) atau ketika diniatkan tidur itu untuk melakukan ibadah lain yang memang telah ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya tidur di awal malam agar kuat sholat tahajjud di sepertiga malam yang terakhir.
Semoga Allah mempermudah kita untuk memahami dua hal yang berbeda ini! Sungguh indah perkataan Abul Ahwash ketika ia berkata kepada dirinya sendiri,
“Wahai Sallam, tidurlah kamu menurut sunnah. Itu lebih baik
daripada kamu bangun malam untuk melakukan bid’ah.”
(Al Ibanah no. 251, Lihat Membedah Akar Bid’ah).
Kerancuan Kedua: Antara Bid’ah dan Mashalih Mursalah
Kerancuan lain yang sering muncul adalah berkaitan dengan hal-hal yang biasa dipergunakan dalam agama, semacam mikrofon, mushaf al-Qur’an, sekolah Islam dan lain sebagainya. Seakan-akan perkara-perkara tersebut sesuai dengan ciri-ciri bid’ah, terutama karena perkara tersebut disandarkan pada agama. Sehingga ada orang yang berkata, “Berarti pake mik sewaktu adzan ga boleh dong. Kan zaman nabi ga pake mik..”
Jawaban
Pada poin ini, perlu bahasan yang lebih rinci lagi berkaitan dengan mashalih mursalah. Syathibi dalam kitabnya al I’tishom telah menjelaskan perbedaan antara mashalih mursalah dengan bid’ah yang akan dapat dimengerti oleh orang yang mau memahami. Berikut ini perbedaan tersebut dengan penyesuaian dari penulis.
Pertama,
Ketentuan mashalih mursalah sesuai dengan maksud-maksud syari’at, sehingga dalam penetapannya tetap memperhatikan dalil-dalil syari’at.
Misalnya: pengumpulan mushaf Al Qur’an. Karena pengumpulan ini sifatnaya sesuai dengan maksud syari’at dan sesuai dengan dalil-dalil syari’at maka pengumpulan mushaf Al-Qur’an bukanlah bid’ah walaupun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk mengumpulkannya. Karena pengumpulan mushaf Al-Qur’an bertujuan untuk menjaga sumber syari’at. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al Hijr [15]: 9)
Namun coba perhatikan, terdapat perkara yang dibuat-buat, dimana seseorang mulai menyebutkan ‘khasiat-khasiat’ baru dari baris-baris yang ada dalam lembaran Al Qur’an. Sehingga orang mencetak dalam satu lembar harus ada 18 baris atau 16 baris dengan keyakinan-keyakinan yang tidak ada dalilnya dalam syari’at. Maka yang seperti ini tidak termasuk dalam mashalih mursalah.
Kedua,
Mashalih mursalah lingkupnya adalah pada perkara-perkara yang dapat dipahami oleh akal.
Contohnya adalah penggunaan mikrofon di masjid-masjid. Kita ketahui mikrofon berguna untuk memperjelas suara sehingga dapat didengar sampai jarak yang jauh. Hal ini termasuk perkara adat dimana kita boleh mempergunakannya. Hal ini semisal kacamata yang dapat memperjelas huruf-huruf yang kurang jelas bagi orang-orang tertentu. Sebagaimana perkataan Syaikh As Sa’di rahimahullah kepada orang berkacamata yang mengatakan bahwa pengeras suara adalah bid’ah, beliau berkata, “Wahai saudaraku, bukankah kamu tahu bahwa kaca mata dapat membuat sesuatu yang jauh menjadi dekat dan memperjelas pandangan. Demikian juga halnya pengeras suara, dia memperjelas suara, sehingga seorang yang jauh dapat mendengar, para wanita di rumah juga bisa mendengar dzikrullah dan majlis-majlis ilmu. Jadi mikrofon merupakan keikmatan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita, maka hendaknya kita menggunakannya untuk menyebarkan kebenaran.” (Mawaqif Ijtima’iyyah min Hayatis Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, Muhammad As Sa’di dan Musa’id As Sa’di. Lihat Majalah Al Furqon edisi 5 tahun 7)
Berbeda halnya dengan bid’ah. Amalan-amalan bid’ah tidak dapat dipahami oleh akal. Hal ini dikarenakan bid’ah merupakan amalan ibadah yang berdiri sendiri. Padahal tidaklah amalan ibadah dapat dipahami oleh akal. Semisal, mengapa sholat fardhu ada lima, dan mengapa jumlah raka’aatnya berbeda-beda. Atau mengapa ada dzikir yang berjumlah 33. Maka semua ibadah ini tidak dapat dipahami maksudnya oleh akal.
Ketiga,
Mashalih mursalah diadakan untuk menjaga perkara yang sifatnya vital (dharuri), serta menghilangkan permasalahan berat yang biasanya muncul dalam perkara agama.
Perkara dharuri yang dimaksud misalnya adalah agama. Sebagaimana contoh pertama, maka penyusunan mushaf Al Qur’an kita dapat pahami berkaitan untuk menjaga agama agar kemurnian Al Qur’an tetap terjaga.
Coba bedakan dengan bid’ah. Sebagaimana penulis sebutkan pada artikel sebelumnya, bahwa bid’ah dibuat untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah sehingga bid’ah justru menambah beban bagi seorang muslim. Contohnya adalah mengadakan peringatan isra mi’raj, maulid atau yang semacamnya sehingga menambah beban seseorang untuk mengeluarkan dana dan tenaga untuk mengadakan acara tersebut. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan untuk merayakan hal-hal tersebut.
-bersambung insya Allah-
***
Artikel www.muslimah.or.id

REDAKSI -Q


DISINI.COM: NASA............

DISINI.COM: NASA............

NASA............


Gara-Gara Iddah Wanita Muslimah, Pakar Genetika Yahudi Masuk Islam



Seorang pakar genetika Robert Guilhem mendeklarasikan keislamannya setelah terperangah kagum oleh ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang iddah (masa tunggu) wanita Muslimah yang dicerai suaminya seperti yang diatur Islam.

Guilhem, pakar yang mendedikasikan usianya dalam penelitian sidik pasangan laki-laki baru-baru ini membuktikan dalam penelitiannya bahwa jejak rekam seorang laki-laki akan hilang setelah tiga bulan.

Guru besar anatomi medis di Pusat Nasional Mesir dan konsultan medis, Dr. Abdul Basith As-Sayyid menegaskan bahwa pakar Robert Gelhem, pemimpin yahudi di Albert Einstain College dan pakar genetika ini mendeklarasikan dirinya masuk Islam ketika ia mengetahui hakikat empiris ilmiah dan kemukjizatan Al-Quran tentang penyebab penentuan iddah (masa tunggu) perempuan yang dicerai suaminya dengan masa 3 bulan.

Ia menambahkan, pakar Guilhem ini yakin dengan bukti-bukti ilmiah. Bukti-bukti itu menyimpulkan bahwa hubungan persetubuan suami istri akan menyebabkan laki-laki meninggalkan sidik (rekam jejak) khususnya pada perempuan. Jika pasangan ini setiap bulannya tidak melakukan persetubuhan maka sidik itu akan perlahan-lahan hilang antara 25-30 persen. Setelah tiga bulan berlalu, maka sidik itu akan hilang secara keseluruhan. Sehingga perempuan yang dicerai akan siap menerima sidik laki-laki lainnya.

Bukti empiris ini mendorong pakar genetika Yahudi ini melakukan penelitian dan pembuktian lain di sebuah perkampungan Afrika Muslim di Amerika. Dalam penelitiannya ia menemukan bahwa setiap wanita di sana hanya mengandung dari jejak sidik pasangan mereka saja. Sementara penelitian ilmiah di sebuah perkampungan lain di Amerika membuktikan bahwa wanitanya yang hamil memiliki jejak sidik beberapa laki-laki dua hingga tiga. Artinya, wanita-wanita non Muslim di sana melakukan hubungan intim selain pernikahan yang sah.

Yang mengagetkan sang pakar ini adalah ketika dia melakukan penelitian ilmiah terhadap istrinya sendiri. Sebab ia menemukan istrinya memiliki tiga rekam sidik laki-laki alias istrinya berselingkuh. Dari penelitiannya, hanya satu dari tiga anaknya saja berasal dari dirinya. Setelah penelitian-penelitian yang dilakukan ini akhirnya meyakinkan sang pakar Guilhem ini memeluk Islam. Ia meyakini bahwa hanya Islamlah yang menjaga martabat perempuan dan menjaga keutuhan kehidupan social. Ia yakin bahwa wanita Muslimah adalah wanita paling bersih di muka bumi ini. (islammemo/atb/
www.globalmuslim.web.id)

Pladu Sungai Brantas 2024